SEMIOTIK RUANG PUBLIK KOTA LAMA ALUN-ALUN SELATAN KRATON YOGYAKARTA

Laksmi Widyawati

Abstract


ABSTRAK. Ruang publik kota dibutuhkan warga kota  untuk berkumpul  tanpa perbedaan. Pada kota lama bekas kerajaan di Jawa seperti Yogyakarta,tata ruang kotanya mengikuti makna filosofi yang dipercaya pada masanya, dan memiliki alun-alun yang berkembang menjadi ruang publik. Meskipun pengertian ruang publik di sini berbeda dengan ruang publik di Eropa, namun sebagai tempat berkumpul cukup menarik. Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta saat ini begitu hidup berkembang sebagai ruang publik terutama setiap malam dengan berbagai kegiatan menarik. Perubahan pemaknaan terjadi seiring perkembangan jaman. Berangkat dari anggapan awal saya tentang perubahan fungsi dan makna alun-alun, di lapangan saya memperoleh temuan bahwa kerelaan pihak kraton memberikan halamannnya untuk rakyat adalah faktor utama terbentuknya ruang publik di alun-alun. Di lapangan saya juga menemukan berbagai makna yang bisa dibaca dari tanda, yang bisa dimaknai sebagai semiotik alun-alun.

 

Penelitian saya memiliki dua arah, kajian sejarah sebagai tolok ukur perkembangan fungsi dan makna, serta proses lapangan menekankan pada eksplorasi aktor-aktor yang terlibat di alun-alun selatan, dengan mengacu Actor Network Theoryserta Semiotik untuk memahami terbentuknya  makna bagi pemilik dan pengguna, yang bisa berubah pada kurun waktu yang berbeda.

 

Kata Kunci: alun-alun, ruang publik, makna, semiotik

 

ABSTRACT.  Public space needed to gather citizens without distinction. In the old town of the former kingdom in Java such as Yogyakarta, the city follows the spatial meaning of the philosophy that believed in his time, and had the square developed into a public space. Although the notions of public space here is different from the public space in Europe, but as a gathering place quite interesting. South Alun-Alun Kraton Yogyakarta today so thrive as a public space, especially every night with a variety of interesting activities. Changes of meaning occurs over the development period. Departing from my initial assumptions about changes in the function and meaning of the square, on the ground I gained the finding that the willingness of the parties the court gives halamannnya for the people is a major factor in the formation of a public space of the square. On the field, I also found a variety of meanings that can be read from the signs, which could be interpreted as a semiotic alun-alun

 

My research has two directions, the study of history as a benchmark the development of the function and meaning, as well as the pitch emphasis on exploration of the actors involved in the  south Alun-Alun, with reference Actor Network Theory and Semiotics to understand the formation of meaning for owners and users, which may change at different times.

 

Keywords: square, public space, , meaning, semiotic

Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.24853/nalars.16.1.15-26

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Indexed by:

Directory of Open Access JournalGarba Rujukan Digital(Garuda)

Crossref

Base

Index Copernicus International (ICI)CiteFactorRoad

 

 

Web Analytics Made Easy - Statcounter

Visitor NALARs

Powered by Puskom-UMJ